Pengangkatan CPNS-PPPK Ditunda tapi Disebut Disesuaikan, Kenapa Pejabat Sering Memperhalus Kata?

 


NEWSNTT - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Menpan-RB) Rini Widyantini menggunakan gaya bahasa yang netral dan cenderung aman ketika mengumumkan perubahan jadwal pengangkatan CPNS dan PPPK hasil seleksi 2024.


Alih-alih menyebut keputusan tersebut sebagai penundaan atau pengunduran, ia memilih menyebut perubahan jadwal pengangkatan CPNS dan PPPK sebagai penyesuaian.


“Bukan ditunda sebenarnya tapi mau menyelesaikan supaya bisa semuanya terangkat,” ujar Rini di Kompleks Parlemen, Jakarta dikutip dari Kompas.com, Rabu (5/3/2025). 


Selain Rini, kementerian, lembaga, maupun badan usaha milik negara (BUMN) lain juga kerap menggunakan gaya bahasa yang netral dan tidak terang-terangan ketika menyampaikan keterangan terkait kebijakan yang bersentuhan dengan kepentingan publik.


Contohnya, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) naik, Pertamina menyebut hal ini sebagai penyesuaian harga, bukan kenaikan.


Wakil Presiden 2019-2024 Ma’ruf Amin juga pernah menggunakan gaya bahasa yang cenderung aman ketika menyebut puluhan orang di Papua meninggal karena kelaparan pada 2023 sebagai kekurangan bahan pangan.


Penggunaan kalimat yang halus dan netral kerap kali dipertanyakan publik karena pemerintah terkesan menutupi makna sebenarnya terkait kebijakan yang diambil.


Eufemisme pejabat 


Ahli bahasa dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Ganjar Harimansyah mengatakan, penggunaan istilah “kenaikan harga” menjadi “penyesuaian” atau “menunda” menjadi “menyesuaikan” adalah bentuk eufemisme.


Eufimisme adalah cara memperhalus kata supaya terdengar lebih positif atau netral.


“Pemerintah sering memakai eufemisme untuk mengurangi reaksi negatif masyarakat, membuat kebijakan terdengar lebih baik, dan menjaga citra mereka,” ujar Ganjar kepada Kompas.com, Kamis (6/3/2025).


Terpisah, pakar bahasa yang juga pendiri Narabahasa Ivan Lanin menyampaikan, penggunaan eufemisme dalam komunikasi pemerintah adalah hal yang umum terjadi di semua negara. 


Eufemisme digunakan untuk menyampaikan informasi yang berpotensi menimbulkan kecemasan atau reaksi negatif dari masyarakat dengan cara yang lebih halus. 


“Ini berkaitan dengan strategi komunikasi publik, terutama dalam menjaga stabilitas sosial dan menghindari kepanikan,” kata Ivan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (6/3/2025).


Dampak positif penggunaan eufemisme oleh pemerintah 


Ganjar dan Ivan mengungkap dampak positif yang muncul ketika pemerintah menggunakan eufemisme dalam penyampaian informassi atau keterangan kepada publik. 


Ganjar menyebut, penggunaan gaya bahasa tersebut mampu mengurangi kecemasan publik, membuat komunikasi lebih diplomatis, dan menghindari resistensi berlebihan di kalangan masyarakat. 


Semenara itu, Ivan menjelaskan, penggunaan eufemisme dapat mengurangi dampak emosional suatu kebijakan yang sensitif, mencegah kepanikan atau keresahan masyarakat, dan mempermudah penerimaan kebijakan yang tidak populer.


“Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus atau sopan untuk menggantikan kata atau frasa yang dianggap kasar, menyinggung, atau tidak menyenangkan. Tujuan utamanya adalah meredam dampak psikologis atau sosial dari suatu pernyataan,” jelasnya.


“Dalam komunikasi pemerintahan, eufemisme sering digunakan untuk menjaga citra dan meredakan respons publik,” tambah Ivan. 


Di luar konteks kebijakan, eufemisme juga kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk memperhalus penyebutan atas status seseorang atau peristiwa. Contohnya: 


- Tunawisma untuk menggantikan gelandangan 

- Berpulang untuk menggantikan meninggal dunia 

- Kurang mampu untuk menggantikan miskin.


Dampak negatif penggunaan eufemisme oleh pemerintah 


Di sisi lain, penggunaan eufemisme ketika pemerintah mengumumkan suatu kebijakan, terutama yang bersifat sensitif, hal ini berpotensi membuat masyarakat bingung. 


Menurut Ganjar, pemilihan bahasa yang dihaluskan juga bisa menyamarkan realitas atau tanggung jawab dan berisiko menurunkan kepercayaan publik jika terlalu sering digunakan.


“Eufemisme memang bisa membantu komunikasi pemerintah, tetapi kalau terlalu berlebihan dan berulang dengan modus yang sama, malah bisa membuat masyarakat bingung dan merasa pemerintah tidak transparan,” ujarnya.


Sementara itu, Ivan menilai, penggunaan eufemisme memiliki beberapa sisi negatif, seperti menimbulkan anggapan menutupi fakta dan menyesatkan jika berlebihan. 


Sisi negatif lainnya adalah mengurangi kepercayaan publik jika masyarakat merasa informasi yang diberikan tidak jujur dan memperburuk persepsi terhadap pemerintah jika terlalu sering digunakan tanpa kejelasan makna. 


Menurut Ivan, penggunaan eufemisme harus dilakukan secara proporsional dan tetap mempertahankan transparansi. 


Jika justru menutupi fakta atau menyesatkan publik, eufemisme bisa menjadi masalah etis dan berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.


Sumber Berita : Kompas.com

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler