NEWSNTT.COM, TTS - Walaupun Bendungan Temef sudah diresmikan oleh presiden Jokowi namun ganti rugi tanah pembangunan bendungan Temef belum usai. Kamis, (03/04/25)
Salah satu alasan adalah tanah-tanah rakyat diklaim sebagai milik negara dalam kawasan hutan produksi Tetap Laob Tumbesi.
"Kami sudah diami ini tanah ratusan tahun tapi begitu negara mau pakai, maka jadi milik negara karena Kawasan Hutan Laob Tumbesi. Kami sudah tidak bisa berkebun karena sudah digenangi air tapi ganti rugi kan jelas fa" (ganti rugi tidak jelas) keluh mama Kornelia Tabun.
Menurutnya Warga desa Konbaki kecamatan Polen mengeluh terkait ganti rugi tanah pembangunan bendungan temef. Berdasarkan informasi masyarakat bahwa ada banyak perubahan nilai uang. Contohnya mama Martasa Manu perhitungan pertama ganti rugi tanah Rp. 150.000.000 tapi karena hasil pemeriksaan pihak pemerintah beririsan dengan kawasan hutan Tetap Laob Tumbesi maka jadi Rp. 25.000.000 dan itupun belum dibayarkan.
Sedangkan Melianus Tasoin suami dari Kornelia Tabun sesuai perhitungan pertama yang sudah pernah ia tanda tangan itu sebesar Rp. 60.000.000 tapi sampai hari ini belum di bayarkan karena beririsan dengan kawasan hutan Laob Tumbesi.
Ketua Perkumpulan Masyarakat Hukum Adat Amanuban Wemrids M. Nope didampingi Sekretaris Pina Ope Nope menyesalkan sikap pemerintah.
"Kawasan hutan produksi Tetap Laob Tumbesi ini sudah berdampak ke mana-mana dan masyarakat sangat dirugikan".
Profesor Hans Hägerdal (Guru Besar Linnaeus University Swedia, Profesor) Persoalan Kawasan Hutan Laob Tumbesi yang mengklaim rumah dan kebun rakyat sebagai tanah milik Negara mendapat perhatian serius dari guru besar luar negeri yaitu Profesor Hans Hägerdal (Guru Besar Linnaeus University Swedia, Profesor) Profesor Hans Hägerdal merupakan seorang peneliti senior tentang Sejarah di Asia Tenggara dan terutama di Nusa Tenggara Timur.
Ketika dihubungi melalui e-mail awal maret 2025 (lalu) Prof. Hägerdal menyayangkan peristiwa ini, “Persoalan ini benar-benar serius” kata Profesor yang telah menulis puluhan buku dan puluhan artikel ilmiah tentang Sejarah di Nusa Tenggara ini.
Ia membeberkan terkait pola permukiman kehidupan masyarakat Timor sebagai Usufruct (bahwa hak milik adalah milik orang yang mengolah sebidang tanah) dan semuanya telah tertata rapih menurut hukum adat dari masing-masing kerajaan di Timor.
“Kejadian seperti itu sayangnya saat ini umum terjadi ketika penggunaan lahan adat berbenturan dengan inisiatif birokrasi modern, terutama ketika para pejabat birokrasi keliru dan salah menafsirkan ulang dokumen kolonial tertentu” sesal Profesor Hans Hägerdal.
Ia berharap masyarakat adat Amanuban dapat berhasil melawan klaim dari para pejabat birokrasi tersebut.
“Saya harap anda semua akan berhasil dalam melawan klaim Negara." ujar Profesor Hans Hägerdal.
Penulis: Jimra Tino